Saya terdorong untuk menulis artikel ini karena tergelitik oleh artikel mengenai Mas Gibran, walikota Solo. Beliau mengeluarkan statement bahwa : “kegiatan potong pita tidak ada manfaatnya untuk masyarakat“.
Ini bukan pertama kalinya saya dengar pernyataan seperti ini dari pejabat publik di Indonesia. Kalau anda search di google, sudah banyak pejabat publik yang mencetuskan wacana ini lebih dari 10 tahun yang lalu. Akan tetapi, anehnya budaya ini tetap bertahan sampai saat ini. Di artikel ini, saya tertarik membahas perbandingan budaya kegiatan seremoni di Indonesia dan di Jepang berdasarkan pengetahuan dan pengalaman saya selama ini. Sebagai gambaran, saya pernah menjalani kiprah di lingkungan akademik di Jepang dan Indonesia selama 11 tahun sebagai akademisi profesional. Di Indonesia, saya telah menjalani 5 tahun sebagai dosen. Di Jepang, saya menjalani 6 tahun sebagai peneliti dan dosen.Mungkin artikel ini bisa jadi referensi bagi para pembaca dan civitas akademika di Indonesia.
Kegiatan Sebagai Akademisi
Sebagai akademisi, scope kegiatan seorang dosen sudah sangat besar. Kalau di Indonesia dikenal dengan nama tri dharma perguruan tinggi yang terdiri dari kegiatan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian pada masyarakat. Belum lagi, ditambah kegiatan administratif kampus dan pengembangan diri.
Kegiatan pendidikan dan pengajaran, antara lain mempersiapkan bahan ajar, mengajar di kelas, membimbing tesis/skripsi, menjadi dosen wali puluhan mahasiswa. Kegiatan penelitian antara lain melakukan eksperimen penelitian, forum group discussion, menulis paper, presentasi di konferensi ilmiah, menulis proposal hibah penelitian, menulis laporan hibah penelitian, dan inisiasi kerjasama penelitian dengan industri. Kegiatan pengabdian pada masyarakat bisa berupa mengadakan pelatihan atau training ke industri atau komunitas tertentu atau implementasi hasil penelitian untuk komunitas masyarakat tertentu.
Untuk scope kegiatan di atas tidak bisa ditawar-tawar. Saya rasakan hal yang sama di Jepang dan di Indonesia. Semua kegiatan ini harus kami lakukan dengan baik karena itulah fungsi pelayanan yang kami lakukan sebagai faculty member. Faculty member mempunyai tanggung jawab untuk mendidik generasi mendatang, mengembangkan keilmuan, dan memberikan sumbangsih di masyarakat melalui keilmuannya. Tentu saja, dengan tidak lupa terus giat mengembangkan kemampuan diri.
Kegiatan Seremoni
Akan tetapi, ada satu poin berbeda yang saya rasakan agak berbeda di Jepang dan di Indonesia yaitu mengenai budaya kegiatan seremoni. Di lingkungan kampus di Indonesia, di tengah kesibukan, masih banyak sekali kegiatan seremoni yang harus diikuti, yang selain meningkatkan kepadatan jadwal, juga berpotensi meningkatkan berat badan secara eksponensial. Hehe.
Berikut saya coba beri contoh perbedaan yang paling mencolok di Jepang dan Indonesia
1. Sidang Terbuka Mahasiswa Doktor
Di Jepang, kegiatan sidang terbuka mahasiswa doktor berlangsung selama satu setengah jam. Dihadiri oleh mahasiswa yang akan disidang, dosen penguji, rekan-rekan lab, dan faculty member yang tertarik dengan topik riset yang disidangkan. Konsumsi pun seadanya. Saat saya sidang terbuka sebagai mahasiswa S3 10 tahun yang lalu, saya hanya diminta menyediakan 3 kotak konsumsi dan 3 minuman botol plastik untuk dewan penguji. Lebih ekstrem lagi, awal tahun ini ketika saya menjadi dosen penguji sidang terbuka S3, saya hanya diberikan 1 minuman ocha botol plastik. Hehe.
Di Indonesia, sidang terbuka mahasiswa doktor sangatlah berbeda. Durasi kurang lebih 2-3 jam. Tapi kali ini yang hadir tidak hanya civitas akademika, tapi juga keluarga besar dan para kolega sang kandidat doktor. Sehingga ruangan penuh bisa sampai puluhan orang. Saat sidang terbuka berlangsung, hanya segelintir orang yang mengerti isi diskusinya. Hal ini terjadi karena memang sebagai besar undangan yang datang hadir bukan untuk diskusi ilmiah, tetapi untuk memeriahkan seremoni. Konsumsi pun cukup istimewa. Tamu akan disuguhi hidangan ala kondangan pernikahan dengan mode prasmanan. Saya kadang merasa kasihan dengan para kandidat doktor di Indonesia. Belum juga merasakan dampak secara finansial sebagai doktor baru, sang kandidat doktor sudah harus keluar dana besar untuk sidang terbuka.
2. Pengangkatan Professor/Guru besar
Di Jepang, Professor adalah posisi atau jabatan dan bukan gelar akademik dari pemerintah seperti yang berlaku di Indonesia. Ketika seorang berhasil lulus seleksi untuk menempati posisi Professor, seorang akademisi akan mendapat kontrak kerja dan mulai bekerja pada waktu yang ditentukan. Seremoni yang dilakukan hanya dilakukan secara terbatas di ruangan rektor universitas berupa penyerahan kontrak kerja dihadiri oleh rektor, sekretaris rektor, dan professor itu sendiri. Selain itu akan ada pengenalan secara singkat professor-professor yang baru pada di awal rapat bulanan fakultas.
Di Indonesia, saat seseorang ditetapkan sebagai guru besar maka akan diselenggarakan sebuah acara megah yang bernama acara pengukuhan guru besar. Acara dilakukan di aula besar atau auditorium universitas dengan partisipan bisa mencapai ratusan orang, yang terdiri dari keluarga besar, rekan-rekan di universitas, mitra kerjasama, sampai ke teman-teman kuliah, SMA, SMP, SD,dsb. Para tamu ini tentunya harus disuguhkan jamuan makan istimewa. Acara utamanya adalah pengukuhan sebagai guru besar dan pidato ilmiah sang professor. Selain itu, ada juga kilas balik perjalanan akademisi tersebut sebagai dosen serta kesan-pesan dari para rekan-rekan sejawat.
3. Pelantikan Pejabat di Perguruan Tinggi
Di Jepang, ketika seseorang professor sudah sah ditentukan sebagai seorang pejabat di lingkungan kampus, misalnya dekan, maka universitas akan memberikan email broadcast yang menginfokan bahwa “Prof AAA kan mulai menjalani tugas sebagai dekan pada fakultas BBB, pada periode CCC – DDD”. That’s it. Dan setelah itu Prof AAA akan mulai menjalankan tugasnya sebagai dekan tanpa ada seremoni istimewa. Dan di rapat fakultas berikutnya, sang dekan akan memulai memimpin rapat secara formal.
Di Indonesia, ketika seseorang diangkat menjadi pejabat di lingkungan kampus, maka akan diadakan seremoni pelantikan dan serah terima jabatan di aula besar atau auditorium yang biasanya dihadiri seluruh jawatan civitas akademika di universitas tersebut. Isi acaranya kurang lebih laporan pertanggungjawaban pejabat sebelumnya, pelantikan/serah terima jabatan, arahan pimpinan universitas, dan tentunya tidak pernah lupa sesi foto untuk setiap momen yang ada.
Akhir kata
Well, akhir kata saya tidak mau menjudge mana yang baik dan yang buruk. Mungkin juga ini terjadi karena sejarah perguruan tinggi di Jepang sudah berlangsung jauh lebih lama. Dunia pendidikan tinggi di Jepang sudah ada puluhan bahkan ratusan tahun lebih awal dibandingkan Indonesia. Yang bila dimaknai lebih dalam, artinya sudah jauh lebih banyak doktor dan professor yang dihasilkan di Jepang dibandingkan Indonesia. Ini mungkin salah satu alasan mengapa kehadiran doktor dan professor baru lebih dianggap biasa oleh masyarakat Jepang.
Selain itu berdasarkan pengalaman pribadi, pencapaian menjadi doktor dalam usia muda masih menjadi suatu hal yang istimewa bagi masyarakat Indonesia. Akan tetapi, di Jepang menjadi doktor di usia 25-28 tahun sudah menjadi suatu hal yang sangat biasa. Kalau saya perhatikan di kampus saya di Jepang, rata-rata Professor yang ada sudah mendapatkan gelar doktor di usia 25-28 tahun.
Tapi ya, mudah-mudahan semakin berjalannya waktu dunia pendidikan tinggi di Indonesia semakin “mature” dan mengurangi kegiatan seremoni seperti yang terjadi di Jepang. Sehingga universitas-universitas di Indonesia lebih fokus untuk bekerja, bekerja, memberikan pelayanan pendidikan pada masyarakat, dan mengejar ketertinggalan ratusan tahun dari negara-negara maju yang lain.
Selain itu, seperti kata Mas Gibran, bukankah lebih baik dana, waktu, dan energi yang digunakan untuk kegiatan seremoni dialihkan untuk kegiatan yang membawa manfaat langsung pada masyarakat luas? Semoga statement Mas Gibran di atas tidak hanya sekedar menjadi wacana saja tapi segera bisa terlihat perubahannya di setiap lapisan kepimpinan dan institusi di Indonesia.
Salam,